MAKALAH
SOSIOLOGI OLAHRAGA
“OLAHRAGA
DAN GENDER”
Makalah ini disusun untuk memenuhi
tugas mata kuliah Sosiologi Olahraga
Diampu oleh Drs. H. Yus Solihin
Yusakarim., M.Ed
Disusun oleh :
Kelompok 9 Kelas A
1. Ramdani (1303488)
2. Alliza Husein (1301721)
3. Dwi Yuliani
Uli (1300246)
PENDIDIKAN GURU SEKOLAH
DASAR PENDIDIKAN JASMANI FAKULTAS PENDIDIKAN OLAHRAGA DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS PENDIDIDKAN
INDONESIA
BANDUNG
2014
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Tim Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
atas rahmat-Nya yang telah dilimpahkan kepada Tim Penulis yaitu anggota
Kelompak 9 diantaranya adalah Ramdani, Alliza Husein, dan Dwi Yuliani Uli. prodi
Pendidikan Guru Sekolah Dasar Pendidikan Jasmani (PGSD PENJAS) Kelas A Fakultas
Pendidikan Olahraga dan Kesehatan Universitas Pendididkan Indonesia sehingga
kami dapat menyelesaikan sebuah makalah berupa kajian Olahrga dalam sosiologi.
Makalah ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas terstuktur yang diberikan oleh
dosen pada mata kuliah Sosiologi Olahraga.
Dalam makalah yang berjudul “Olahraga dan Gender” kami membahas bagaimana Olahraga dan pendidikan jasmani serta
kaitannya dengan kehidupan dimasyarakat terutama dalam hal gender. Dan proses
yang ada di dalamnya.
Dalam menyeleasaikan pembuatan malakah ini Tim Penulis telah
banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesemapatan
ini Tim Penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada; Bapak Drs.
H. Yus Solihin Yusakarim., M.Ed selaku dosen mata
kuliah Sosiologi Olahraga yang telah memberikan tugas terstuktur membuat
makalah sehingga pengetahuan Tim Penulis dalam karya ilmiah makin bertambah dan
hal itu sangat bermafaat bagi penyusunan, kelak dikemudian hari, dan Teman-teman
seperjuang diprodi PGSD PENJAS KELAS A yang telah banyak membantu dalam hal
material maupun moral.
Dalam
makalah ini mungkin saja masih terdapat kekurangan. Oleh karna itu, saran dan
kritik yang membangun akan Tim Penulis terima dengan senang hati. Akhir kata
Tim Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Bandung,
Robiulakhir 1435 H
Februari
2014 M
Penulis,
Mahasiswa PGSD PENJAS A 2013
DAFTAR ISI
Halaman Judul .........................................................................................................
i
Kata Pengantar
.......................................................................................................
ii
Daftar Isi ...............................................................................................................
iii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................
1
1.1 Latar Belakang..................................................................................................1
1.2 Rumusan
Masalah............................................................................................
2
1.3 Tujuan .............................................................................................................
2
BAB II TINJAUAN TEORI ..................................................................................
4
2.1 Memahami Gender Secara Umum ..................................................................
4
2.2 Perbedaan Gender dalam Olahraga ...........................................................
4
2.3 Partisipasi di antara Para Wanita
.................................................................... 7
2.4 Gerakan Kesehatan dan Kebugaran .................................................................
7
2.5 Wanita dan Olahraga ..................................................................................... 8
2.6 Peran Wanita dalam Olahraga ......................................................................... 9
BAB III PENUTUP ..............................................................................................
14
3.1 Kesimpulan ...................................................................................................
14
3.2 Saran .............................................................................................................
14
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Isu
tentang gender telah menjadi bahasan analisis sosial (sosiologi), menjadi pokok
bahasan dalam wacana perdebatan mengenai perubahan sosial dan juga menjadi
topik utama dalam perbincangan mengenai pembangunan dan perubahan sosial tak
terkecuali di dunia olahraga. Bahkan, beberapa waktu terakhir ini, berbagai
tulisan, baik di media massa maupun buku-buku, seminar, diskusi dan sebagainya
banyak membahas tentang protes dan gugatan yang terkait dengan ketidakadilan
dan diskriminasi terhadap kaum perempuan hampir di semua bidang. Ketidakadilan
dan diskriminasi tidak terkecuali hal itu terjadi pula dibidang olahraga,
Gender
dipersoalkan karena secara sosial telah melahirkan perbedaan peran, tanggung
jawab, hak dan fungsi serta ruang aktivitas laki-laki dan perempuan dalam
masyarakat. Perbedaan tersebut akhirnya membuat masyarakat cenderung
diskriminatif dan pilih-pilih perlakuan akan akses, partisipasi, serta kontrol
dalam bidang olahrga yakni laki-laki dan perempuan mempunyai peran yang amat
berbeda.
Olahraga merupakan alat untuk merangsang pertumbuhan dan perkem-bangan
fungsional jasmani, rohani dan sosial. Struktur anatomis-anthropometris dan
fungsi fisiologisnya, stabilitas emosional dan kecerdasan intelektualnya maupun
kemampuannya bersosialisasi dengan lingkungannya nyata lebih unggul khususnya
pada generasi muda yang aktif mengikuti kegiatan Olahraga dari pada yang tidak
aktif mengikutinya (Renstrom & Roux 1988, dalam A.S.Watson: Children in
Sport dalam Bloomfield,J., Fricker, P.A. and Fitch,K.D., 1992). Penulis
meyakini benar bahwa hal demikian juga berlaku bagi laki-laki dan perempuan
yang aktif dalam olahraga.
Banyak anggapan bahwa faktor yang menentukan dalam berolahraga dalam
masyarakat adalah gender. Dimana kaum laki-laki dianggap lebih mumpuni
dibandingkan perempuan dalam bidang olahraga. Namun sebenarnya hal tersebut
merupakan anggapan yang keliru, karna sifat fisiologisnya yang menganggap
wanita lebih lemah dari pada laki-laki. Namun sebenarnya seberapa luas dia
mampu membentuk pola interaksi dengan yang lainnya, dan seberapa dalam
interaksi serta komunikasi yang mampu dia lakukan dengan yang lainnya untuk
mampu berkembang dibidang olahraga dalam menggali semua potensi yang dimiliki
baik laki-laki maupun perempuan sama saja.
Satu alat ukur untuk ini adalah frekuensi keterlibatannya pada aktivitas
olahraga dan prestasi yang telah dicetaknya. Dengan itu pula masyarakat akan memberikan
status padanya.
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka penulis dapat
mengemukakan rumusan masalah sebagai :
a. Seberapa besar hubungan wanita dalam perannya di bidang olahraga.
b. Adakah hubungan yang signifikan antar prestasi wanita yang
mengikuti perlombaan dengan prestasi yang telah dicetaknya.
1.3.
Tujuan
Adapun tujuan pembuatan
makalah ini dibuat adalah sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui sejauh mana peran wanita dalam keikut-sertaan perannya
dalam bidang olahraga.
b. Untuk mengetahui sejauh mana prestasi wanita dalam mengikuti
kejuaraan-kejuaran di dalam perlombaan dalam bidang olahraga.
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1
Memahami Arti Gender Secara Umum
Dari
Wikipedia bahasa Indonesia dijelaskan bahwa gender merupakan aspek hubungan
sosial yang dikaitkan dengan diferensiasi seksual pada manusia.
Istilah
“gender” yang berasal dari bahasa Inggris yang di dalam kamus tidak secara
jelas dibedakan pengertian kata sex dan gender. Untuk memahami konsep gender,
perlu dibedakan antara kata sex dan kata gender.
Sex
adalah perbedaan jenis kelamin secara biologis sedangkan gender perbedaan jenis
kelamin berdasarkan konstruksi sosial atau konstruksi masyarakat. Dalam kaitan
dengan pengertian gender ini, Astiti mengemukakan bahwa gender adalah hubungan
laki-laki dan perempuan secara sosial. Hubungan sosial antara laki-laki dan
perempuan dalam pergaulan hidup
sehari-hari, dibentuk dan dirubah. Heddy Shri Ahimsha Putra (2000)
menegasakan bahwa istilah Gender dapat dibedakan ke dalam beberapa pengertian
berikut ini: Gender sebagai suatu istilah asing dengan makna tertentu, Gender
sebagai suatu fenomena sosial budaya, Gender sebagai suatu kesadaran sosial,
Gender sebagai suatu persoalan sosial budaya, Gender sebagai sebuah konsep
untuk analisis, Gender sebagai sebuah perspektif untuk memandang kenyataan.
Epistimologi
penelitian Gender secara garis besar bertitik tolak pada paradigma feminisme
yang mengikuti dua teori yaitu; fungsionalisme struktural dan konflik. Aliran
fungsionalisme struktural tersebut berangkat dari asumsi bahwa suatu masyarakat
terdiri atas berbagai bagian yang saling mempengaruhi. Teori tersebut mencari
unsur-unsur mendasar yang berpengaruh di dalam masyarakat. Teori fungsionalis
dan sosiologi secara inhern bersifat konservatif dapat dihubungkan dengan
karya-karya August Comte (1798-1857), Herbart Spincer (1820-1930), dan masih
banyak para ilmuwan yang lain.
Dalam
buku Sex and Gender yang ditulis oleh Hilary M. Lips mengartikan Gender sebagai
harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan. Misalnya; perempuan
dikenal dengan lemah lembut, cantik, emosional dan keibuan. Sementara laki-laki
dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Ciri-ciridari sifat itu merupakan
sifat yang dapat dipertukarkan, misalnya ada laki-laki yang lemah lembut, ada
perempuan yang kuat, rasional dan perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat
tersebut dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain
(Mansour Fakih 1999: 8-9).
Secara
umum, pengertian Gender adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan
perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku. Dalam Women Studies
Ensiklopedia dijelaskan bahwa Gender adalah suatu konsep kultural, berupaya
membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan
karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam
masyarakat.
2.2 Perbedaan Gender dalam Olahraga
Diskriminasi terhadap wanita dalam olahraga baru didokumentasikan dan
dianggap sebagai masalah pada tahun 1970-an. Di mana tim olahraga wanita
menerima dana yang lebih rendah dari tim pria. Tahun 1974 budget program
olahraga pria lima kali lipat budget untuk wanita. Bahkan pada tingkat
Universitas perbedaannya sampai 100 kali lipat (Women Sport, 1974).
Diskriminasi terlihat dalam hal fasilitas dan peralatan. Wanita menggunakan
gedung olahraga yang usang di mana pria dibuatkan gedung yang baru. Wanita
memakai peralatan bekas tim pria, jika tidak ada yang bekas terkadang tim
wanita tidak mempunyai apa-apa. Dalam menggunakan fasilitas yang sama, wanita
mendapatkan giliran jadwal yang tidak fair.
Wanita tidak mendapatkan perhatian yang cukup mengenai latihan seperti
halnya pria. Sering kali untuk menuju ke pertandingannya, tim wanita harus
menggunakan bis padahal tim pria mendapatkan pelayanan pesawat. Liputan media
untuk berita tentang olahlraga wanita juga kurang, padahal olahraga pria selalu
mendapatkan perhatian media surat kabar, radio bahkan televisi. Sampai adanya
persamaan pada setiap bidang di atas, maka wanita tidak bisa dikatakan
mendapatkan peluang yang sama dengan pria dalam program sekolah.
Pada tingkat masyarakat, meski partisipasi olahraga wanita telah meningkat,
diskriminasi masih kental. Misalnya pada penggunaan fasilitas, program yang
tersedia dan pengurus yang ditugaskan untuk kegiatan olahraga wanita. Hal ini
juga terjadi untuk tingkat olahraga amatir nasional.
1) Mempertahankan
Perbedaan Mitos
a. Mitos Fisiologi
Adanya kepercayaan bahwa partisipasi olahraga menyebabkan efek fisik yang
berbahaya bagi wanita. Mitos ini meliputi hal-hal sebagai berikut:
1.
Partisipasi yang keras dalam olahraga dapat
mengganggu kemampuan untuk melahirkan, Hal ini disebabkan bahwa latihan fisik
akan memperkeras otot pelvis, sehingga tidak akan cukup fieksibel untuk
melahirkan secara normal.
2.
Aktivitas pada beberapa cabang olahraga dapat merusak organ reproduksi dan
payudara wanita. Mitos ini tetap ada meskipun uterus adalah organ internal yang
sangat anti getaran dan lebih terlindung dibanding organ vital pria.
3.
Struktur tulang wanita lebih lemah, sehingga akan memudahkan terjadinya
cedera. Meski ukuran tubuh wanita umumnya lebih kecil dari pada pria, namun
tulang mereka tidak lebih lemah. Bahkan, karena berat badan dan berat otot
wanita lebih ringan, maka tulang mereka menghadapi bahaya yang lebih sedikit
dibanding pria.
4.
Keterlibatan yang aktif membuat masalah pada menstruasi. Menurut para
ginekolog, "aktivitas olahraga tidak mempengaruhi menstruasi."
(Wyrick, 1974). Memang bagi atlet dalam periode latihan yang keras, sering
mengalami keterlambatan menstruasi. Namun hal ini disebabkan oleh kurangnya
persentasi lemak tubuh, Jadi masalah ini akan hilang jika latihan ketat ini
berakhir. Penari balet professional sering mengalami perubahan siklus
menstruasi, namun hal ini juga berakhir jika latihan ketat mereka dihentikan.
5.
Keterlibatan dalam olahraga mengakibatkan timbulnya otot yang menonjol dan
tidak menarik. Padahal suatu tubuh yang dikondisikan dengan baik akan menjadi
menarik. Kondisi fisik yang baik ini juga akan meningkatkan image tubuh dan
meningkatnya sifat responsif fisik. Otot yang menonjol dihasilkan oleh hormon
androgen yang lebih banyak terdapat pada kaum pria. Namun hal ini
bervariasi antar individu.
Kelima mitos
tersebut, jelas sangat tidak beralasan bagi wanita untuk tidak berpartisipasi
dalam olahraga, sehingga upaya untuk menghindari orang yang masih menganut
mitos tersebut di atas, adalah melalui pendidikan. Jadi pendidikan adalah penting untuk menghilangkan mitos yang tidak
berdasarkan ilmu pengetahuan ini.
b. Mitos Performansi
Pola diskriminasi juga terlihat dengan argumentasi bahwa wanita tidak bisa
tampil lebih baik dari pria. Hal ini sangat menghambat karena akan membatasi
peluang, sehingga membatasi wanita untuk membangun kemampuannya.
Sebelum masa puber, perbedaan performansi antara anak laki-laki dan
perempuan disebabkan oleh pengalaman bukan oleh faktor fisik ataupun potensi
performansinya. Bahkan wanita rnempunyai keuntungan yang lebih baik karena
mereka lebih cepat dewasa. Setelah masa puber, keuntungan ada di pihak pria
karena hormon dan perbedaan pertumbuhan yang menyebabkan rata-rata pria lebih
besar dan lebih kuat dari rata-rata wanita. Hal ini bisa digunakan sebagai
dasar untuk membagi-bagi olahraga, namun bukan alasan untuk menutup peluang
bagi wanita.
Jika pengalaman dan peluang bagi wanita dan pria sama, maka perbedaan ini
akan hilang secara bertahap. Pada beberapa cabang olahraga perbedaan ini
mungkin akan tetap ada, namun pada cabang-cabang lainnya perbedaan ini malah
bisa terjadi sebaliknya. Misalnya pelari marathon wanita, Grete Waitz dari
Norwegia mencatat waktu 2 jam 25 menit 41 detik pada New York City Marathon,
waktu yang lebih baik dari pemenang pria saat itu. Pada cabang olahraga yang
membutuhkan daya tahan dan bukan kekuatan, maka wanita akan lebih baik daripada
pria. Karena itu tidak masuk akal jika mencegah peluang pria pada cabang ini,
dan juga tidak masuk akal untuk mencegah wanita pada cabang lain hanya karena
ada kemungkinan bahwa pria akan mengunggulinya.
Mitos performansi diperkuat oleh sejarah pembatasan dan diskriminasi. Mitos
ini mulai berkurang, tapi jika individu dan kelompok yang berpengaruh (seperti
IOC) masih menganut hal ini, maka diskriminasi akan terus berlanjut.
2.3
Partisipasi di antara Para Wanita
Sejak tahun 1970-an perubahan dramatis pada olahraga adalah naiknya tingkat
partisipasi olahraga wanita. Hal ini terjadi di setiap negara industri. Di
Amerika, tahun akademis 1970-1971 kurang dari 300.000 siswi sekolah menengah
bermain olahraga tim sekolah, tahun akademis 1983-1984 ada 1.800.000 siswi yang
berpartisipasi kenaikan sebanyak 60%. Hal ini sangat menarik karena pada
periode yang sama jumlah siswi menurun sebanyak 5%. Di tingkat Universitas
16.000 mahasiswi bermain olahraga tim tahun 1970-an, namun tahun 1984 lebih
dari 150.000 orang, kenaikan sekitar 90%. Sulit untuk menunjukkan jumlah
partisipasi pada program olahraga masyarakat, namun hampir semua laporan
memperlihatkan adanya kenaikan partisipasi wanita dalam olahraga.
Adapun yang menjadi penyebab meningkatnya partisipasi olahraga wanita di
Amerika dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya, 1) Peluang baru; 2)
Tekanan dari pemerintah dalam bentuk titie IX; 3) Gerakan kaum perempuan; 4)
Gerakan kesehatan dan kebugaran; dan 5) Adanya tokoh atetik teladan.
2.4
Gerakan Kesehatan dan Kebugaran
Sejak pertengahan tahun 1970-an meningkatnya kesadaran akan kesehatan dan
kebugaran mempengaruhi wanita untuk ikut serta dalam berbagai kegiatan fisik.
Selain kecantikan tubuh secara tradisional, adapula perhatian akan pembangunan
tubuh wanita secara aktual. Yaitu melalui kekuatan, otot dan, pembangunan
fisik. Banyak wanita yang mencoba untuk menghadapi tantangan dalam olahraga,
bukan hanya ingin terlihat seperti model pada majalah
2.5
Wanita Dalam Olahraga
Tidak ada satupun wanita terlahir yang secara otomatis mendapatkan status
sebagai olahragawan atau atlet. Status partisipan olahraga hanya diperoleh
melalui tindakan yang ditunjukkan dengan perbuatannya pada aktivitas olahraga.
Hal ini yang membedakan dengan status bangsawan (raden , roro) yang secara otomatis
dimiliki ketika seseorang dilahirkan. Dapat dikatakan bahwa status atlet, yang
dimiliki wanita, merupakan achieved-status yaitu kedudukan yang dicapai
oleh seseorang dengan usaha-usaha yang disengaja. Kedudukan ini tidak diperoleh
atas dasar kelahiran (ascribe-status). Achieved status bersifat terbuka
bagi siapa saja tergantung dari kemampuan masing-masing dalam mengejar serta
mencapai tujuan-tujuannya. Dari konsep ini stratifikasi sosial akan terjadi.
Semua wanita memiliki kesempatan sama untuk memperoleh status tertentu di
masyarakat, tetapi karena kemampuan dan pengalaman berbeda berdampak pada
lahirnya tingkatan-tingkatan status yang akan diperoleh wanita dalam
partisipasinya di olahraga. Bagaimanapun juga setiap wanita berolahraga
menginginkan prestise dan derajat sosial dalam kehidupan di masyarakatnya.
Bukan sebagai pengakuan atas keberadaannya oleh anggota kelompok, melainkan
sebgai salah satu tuntutan kebutuhan untuk harga diri dan atau self-esteem (Teori
kebutuhan menurut Maslow). Peningkatan status sosial wanita berolahraga
memaksakannya untuk terus memobilisasi setiap tindakan. Mobilitas
sebagai salah satu peningkatan status sosial menurut Ralph H. Turner memiliki
dua bentuk yaitu:
a. Contest mobility (mobilitas sosial berdasarkan persaingan
pribadi),
b. Sponsored mobility (mobilitas sosial
berdasarkan dukungan).
Dengan mencermati bentuk mobilitas maka pemberian status sosial kepada
wanita berolahraga hendaknya mampu diberikan sesuai porsi proses yang telah
dilakukannya. Hal ini mungkin berdampak kepada proses menghilangkan perbedaan
pemberian penghargaan diantara atlet pria dan wanita yang sama-sama menjadi
juara di kelompoknya (gender). Misalnya sejumlah hadiah yang masih
dibedakan diberikan antara kelompok putra dengan putri. Meski mungkin
pertimbangannya adalah ketika pertandingan putra sering melahirkan tindakan
yang lebih akrobatik, atraktif, skill tinggi (jika dibandingkan dengan kelompok
putri), terlebih jika didramatisir oleh pers yang secara jumlah memang kaum
pria di kalngan pers lebih banyak yang tentu saja akan selalu memberikan
dukungan lebih pada sesamanya, yang berdampak pada semakin banyaknya jumlah
penonton dan secara otomatis pemasukan keuntungan dari penjualan karcispun
lebih besar.
Terlepas dari itu, status wanita berolahraga memang masih menempati porsi
lebih rendah dari kaum pria. Anekdotnya bisa dikatakan karena wanita kalah
“start”. Semenjak zaman Yunani dan Romawi, sebagai perintis olahraga modern,
wanita belum memperoleh kesempatan yang luas dibandingkan pria, bahkan
dilarangnya berpartisipasi meski sebenarnya telah memiliki kemampuan yang sama
dengan pria (dari beberapa mitolog Artemis dan Athena, Theseus, Hippolyta).
2.6
Peranan Wanita Dalam Olahraga
Peranan (role) merupakan dinamika dari
status atau penggunaan dari hak dan kewajiban (Susanto, 1985), aspek dinamis
kedudukan (status) (Soekanto, 1990). Sehingga apabila wanita melaksanakan hak
dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka dia menjalankan suatu peranan.
Peranan mungkin
mencakup tiga hal yaitu :
1. Meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi
seseorang, serangkaian peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan
kemasyarakatan.
2. Konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam
masyarakat sebagai organisasi.
3. Perilaku individu yang
penting bagi struktur sosial masyarakat.
Peranan dengan status keduanya tak dapat dipisah-pisahkan, karena yang satu
tergantung kepada yang lain dan sebaliknya. Tak ada peranan tanpa kedudukan
atau kedudukan tanpa peranan. Maka sudah selayaknya seorang wanita partisipan
olahraga yang telah berbuat sesuai norma di masyarakat, berperilaku di
masyarakat sebagai organisasi (resmi dan tidaknya, olahraga adalah sebuah
organisasi), dan merupakan struktur sosial masyarakat mendapat peranan sosial
dari kedudukannya sebagai wanita yang berolahraga. Hanya saja sering dilupakan
bahwa dalam interaksi sosial yang paling penting adalah melaksanakan peranan.
Tidak jarang terjadi bahwa kedudukan lebih diutamakan sehingga terjadi
hubungan-hubungan timpang yang tidak seharusnya terjadi. Contoh dalam dunia
olahraga, peranan manajer yang melebihi kekuasaan pelatih dalam menentukan
siapa atlet yang harus bertanding, peranan atlet profesional yang tidak
mencerminkan jati dirinya sebagai olahragawan yang menjunjung sportivitas (fair
play). Sehingga lebih cenderung mementingkan bahwa suatu pihak hanya mempunyai
hak saja, sedang pihak lainnya hanyalah mempunyai kewajiban belaka.
Dalam dunia olahraga ketimpangan ini menyebabkan terjadinya ketidakmerataan
kesempatan. Wanita hanya dijadikan sebagai faktor pendukung yang
keberadaannya bukan prioritas, bukan yang utama. Misalnya dalam beberapa kasus
olahraga profesional, wanita hanya sebagai objek pelengkap seperti umbrella
girls di otomotif sports, atau pemandu sorak dalam beberapa olahraga
permainan.
Hingga status dan peranannya bukan sebagai “bintang”, tidak pula sebagai
pemain utama. Ketimpangan-ketimpangan yang lebih luas terjadi pada masyarakat
partisipan aktivitas tertentu, termasuk aktivitas olahraga, akibat ketidaksesuaian
harapan (dalam konteks olahraga Indonesia rasanya lebih tepat dikatakan
tuntutan) dengan peranan terhadap peranan yang tepat dalam menduduki suatu
status (Davis, 1948) terjadi karena :
1. Harapan masyarakat kurang memperhatikan tindakan sebenarnya
atau sebaliknya,
2. Apabila harapan masyarakat akan tindakannya diketahui,
akan tetapi waktu dan situasi tidak memungkinkan bagi individu yang
bersangkutan,
3. Apabila pemenuhan harapan masyarakat di luar kemampuan
individu.
Masyarakat olahraga Indonesia masih kuat dengan konsep kalah menang,
bahwa suatu pertandingan hanya sebatas pemenang dan pecundang. Sehingga identik
dengan menyamaratakan status tanpa memahami peranan yang diemban. Kita
menyamakan status atlet kita dengan atlet dunia, tanpa mengerti proses untuk
memperoleh status terlebih peranannya seperti apa. Dunia olahraga wanita lebih
memperoleh “kesialan” dari konsep ini. Kita lebih tahu bahwa tim putri kita
adalah pecundang tanpa mengerti siapa lawannya dan proses untuk menjadi pecundang
(karena kita memang kalah start dalam proses pembinaan olahraga wanita). Tim
sepakbola kita lebih banyak kalahnya, tim bulutangkis semakin terpuruk,
berpindahnya pebulutangkis putri harapan kita ke negara lain, ketidakmampuan
induk olahraga dalam proses regenerasi atlet wanita. Ini semua adalah trend
yang semakin memperburuk persepsi masyarakat terhadap aktivitas wanita
berolahraga. Salah satu penyebabnya adalah perbedaan kesempatan. Menururt
Coakley (1990) dari beberapa kasus bahwa wanita masih memiliki sedikit
kesempatan dibandingkan pria, terutama di kota-kota kecil dan wilayah pedesaan.
Yang lebih
sering terjadi adalah kekurangan, diantaranya dalam hal :
1. Persediaan dan pemeliharaan peralatan
dan penyebarannya,
2.
Penjadwalan pertandingan dan waktu latihan,
3. Kesempatan memperoleh pelatihan dan
tutor akademik,
4. Penugasan dan kompensasi pelatih dan
tutor
5. Ketersediaan obat-obatan dan pelayanan
latihan serta fasilitas
6.
Publisitas bagi secara individu, team, dan event.
Harusnya
Indonesia memiliki keuntungan dalam hal kesempatan wanita berolahraga, karena
negara ini dipimpin oleh seorang perempuan juga, yang secara karakter psikis
lebih menonjolkan perasaan. Wanita pun berkeinginan sama untuk mendapat penghargaan
selayaknya pria. Hanya proses ke arah itu tidak berkesempatan sama dengan yang
dimiliki pria karena terkait kebijakan yang dihasilkan adalah
kesepakatan dominasi pria yang duduk di lembaga legislatif dan eksekutif. Seandainya
presiden negara ini berprioritas pada peningkatan sumber daya perempuan (bukan
sebatas retorika) denga tegas memberikan ascribe status dan achieved
status sebagai individu yang berhak mendapatkan kesempatan dan
penghargaan yang sama dengan lawan jenisnya. Dengan pertimbangan perspektif
sosiologis sebagai acuan dalam membicarakan kedudukan dan peran atlet di
masyarakat seperti yang dikemukakan Dr. Vassiliki Avgerinou dari Swiss dalam
makalahnya Kedudukan dan Peran Atlet di Masyarakat , yaitu :
1. Keberadaan atlet di masyarakat serta pribadi atlet sebagai
individu dipandang sebagai bagian dari pola-pola sosial; dan
perasaan-perasaan mereka didasari oleh peraturan-peraturan yang berlaku.
2. Individu yang hidup dalam suatu pranata sosial dan
lingkungan masyarakat akan terlibat kegiatan dan tindakan di dalam kehidupan
sehari-harinya.
3. Sebagai individu yang rasional, seseorang mampu
mengevaluasi tindakannya secara intelektual.
Hal inilah yang
setidaknya memberikan kontribusi bagi pemikiran agar status dan peranan wanita dalam
olahraga memperoleh porsi yang lebih luas lagi menyerupai kesempatan yang
diperoleh pria. Wanita tidak lagi berada
di belakang dalam startnya untuk memperoleh status dan peranan sosial di
masyarakat dibandingkan kaum pria. Faktor pendukung ke hal itu adalah kesadaran
seluruh masyarakat. Bahwa bagaimanapun juga suatu keberhasilan yang
meningkatkan status bangsa di dunia internasional adalah buah kerja sama antara
pria dengan wanita. Andai saja bangsa ini adalah negara yang menghormati
sejarah serta terus mengenangnya, kita diingatkan pada prestasi tertinggi yang
diperoleh duta-duta bangsa dalam olimpiade 1996 saat pertama kalinya lagu
kebangsaan Indonesia Raya berkumandang adalah buah kerja keras seorang wanita
bernama Susi Susanti. Wanitalah sebenarnya yang menjadi perintis bagi KONI
untuk terus mencanangkan upaya mendulang medali pada olimpiade-olimpiade
berikutnya. Hanya saya kita adalah masyarakat hedonis yang bersuka cita sesaat
tanpa mampu mengambil makna dari setiap peristiwa yang mampu menorehkan
prestasi spektakuler. Yang pada akhirnya kita tetap lupa (atau mungkin
mengabaikan) akan “kemashuran” atlet wanita yang berhasil mencetak prestasi
melebihi kaum pria. Sehingga status dan peranan wanita dalam olahraga masih
terus berada di belakang kaum pria.
Coakley (1990) mengungkapkan pula bahwa masih adanya mitos yang keliru dan
masih dipegang oleh masyarakat, terutama terjadi pada negara-negara yang
tingkat pendidikan dan informasi medik masih rendah :
1. Keikutsertaan yang berat dalam olahraga mungkin
menjadi penyebab utama masalah kemampuan menghasilkan keturunan.
2. Aktivitas pada beberapa event olahraga
dapat merusak organ reproduksi atau payudara wanita.
3. Wanita memiliki struktur tulang yang lebih
rapuh dibandingkan pria sehingga lebih mudah mengalami cedera.
4. Keterlibatan intens dalam olahraga
menyebabkan masalah pada menstruasi.
5. Keterlibatan dalam olahraga membawa ke
arah perkembangan yang kurang menarik, menonjolkan otot.
Alasan-alasan
inilah yang memperburuk persepsi masyarakat terhadap keterlibatan wanita dalam
olahraga yang secara langsung berpengaruh pada pemberian status dan peranan
sosial wanita dalam kehidupannya secara khusus di bidang olahraga dan umumnya
di kehidupan keseharian di masyarakat di mana pola-pola interaksi sosial
berlaku di lingkungannya. Terlepas dari itu semua,
bagaimanapun juga semakin banyak wanita yang menyukai kegiatan fisik dengan
tingkat penampilannya yang terus meningkat. Walaupun terdapat masalah kesehatan
khusus yang berhubungan dengan fungsi reproduksinya yang unik, tetapi
manfaatnya bagi kesehatan dan pergaulan sosial, jauh melebihi pengaruh-pengaruh
merugikan yang terjadi selama ini (Giriwijoyo, 2003 : 45).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pemberian
status dan peranan sosial bagi wanita dalam olahraga hendaknya dapat dilakukan
lebih bijak melalui pertimbangan kesesuaian antara apa yang mampu dilakukannya
dengan pemberian hak dan kewajiban serta kesesuaian memberikan harapan-harapan
bukan dalam bentuk tuntutan. Mitos yang keliru sudah seharusnya dibuang.
Perbedaan persepsi tidak harus semakin menyudutkan status dan peranan wanita
dalam olahraga melainkan sebagai pengayaan untuk mencari solusi dalam
memberikan kesempatan yang lebih luas untuk menumbuhkembangkan seluruh potensi
serta untuk terus mengejar ketertinggalan dari kaum pria, dan kemajuan kaum
wanita di negara lain.
3.2 Saran
Diharapkan
dengan emansipasi wanita yang dipelopori oleh R.A. Ajeng Kartini, wanita akan
lebih dapat menselaraskan dengan kaum pria dalam kedudukan serta skill
(keahlian) dan ability (kecakapan) dibidang olahraga.
DAFTAR PUSTAKA
Avgerinou, Vassiliki. Kedudukan
Dan Peran Atlet Di Masyarakat. Kajian Substansi Makalah dalam Payung
Sosiologi Olahraga.
Coakley, Jay J. (1990). Sport in Society
Issues and Controversies. Fourth Edition. Time Mirror/Mosby College Publishing
– St. Louis-Toronto-Boston-Los Altos.
Giriwijoyo, Santoso (2003). Wanita dan
Olahraga. FPOK UPI Bandung.
Soekanto, Soerjono (1990).
Sosiologi Suatu Pengantar. Edisi Keempat. Rajawali Pers – Jakarta.
Susanto, Astrid S. (1985).
Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial. Bina Cipta. Wendt,
Jenice Clemons. Women In Sport.
University of Houston, Houston, Texas.
[21
Januari 2014]
[19 Januari 2014]